Sejarah Singkat Wisata Religi "Syekh Abu Hasan Syekh Abu Manshur" di Desa Kuningan, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar

Syekh Abu Hasan lahir pada tahun 1790 dan meninggal pada tahun 1899 di Desa Kuningan, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar. Sejak kecil, Syekh Abu Hasan telah menunjukkan kecerdasan dan kegesitan yang luar biasa. Pada usia remaja, beliau memanfaatkan waktu untuk menuntut ilmu agama Islam di Mamba'ul Oeloem, sebuah madrasah diniyyah Islam yang dimiliki oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat setelah perjanjian gianti pada tahun 1755 M, saat berdirinya Keraton Djogjakarta.

Berkat kecerdasan dan dedikasinya, beliau diangkat sebagai salah satu Penghulu Keraton (Kyai Keraton). Pada usia 29 tahun, Syekh Abu Hasan menerima penghargaan berupa tombak Dwi Sula dalam barisan komando guru besar Haryo Diponegoro, yang dikenal sebagai Pangeran Diponegoro. Tombak tersebut menjadi tanda bahwa beliau adalah seorang penghulu yang taat, bermartabat, kuat, dan siap menyebarkan agama Islam serta mempersiapkan misi jihad sabilillah untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajah Belanda di Berang Wetan (seberang Timur).

Pada tahun 1819, Syekh Abu Hasan berusia 29 tahun dan memulai perjalanan dakwah untuk mengembangkan dan menyebarkan agama Islam di wilayah timur. Daerah Kabupaten Blitar dipilih sebagai tempat tujuan, yang saat itu dipimpin oleh R. Aryo Blitar, keturunan Raja Mataram. Beliau bersama beberapa santri, keluarga, sanak saudaranya, dan seorang ahli supranatural bernama Ki Manto Wiro, menuju Blitar dan singgah di Desa Kuningan.

Desa Kuningan, dulunya disebut Kawuningan, dipilih sebagai tempat tinggal karena merupakan taman bunga dan kolam ikan mas milik Adipati R. Aryo Blitar, Bupati Blitar pertama. Di Desa Kuningan, beliau mendirikan pondok pesantren Nurul Huda bersama warga setempat dan para santrinya.

Selama perang Jawa atau perang Diponegoro pada tahun 1825-1830, Syekh Abu Hasan memainkan peran penting. Beberapa santri bergabung dengan medan perang, sementara yang lain tetap tinggal di pesantren bersama Syekh Abu Hasan untuk menjaga jihad secara ilmiyah tholabul ilmi.

Setelah perang selesai, Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda dan diasingkan. Para pangeran yang sebelumnya membaiat Pangeran Diponegoro menyebarkan dakwah syariat agama Islam dan memegang teguh arti jihad sabilillah untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Syaikh Abu Manshur (Kyai Toya), yang merupakan cucu buyut dari Bendhoro Pengeran Hangabei (B.P.H) Sandeyo/KH. Nur Iman Melangi Ngayogyakarta, adalah salah satu dari 158 Pangeran Diponegoro yang menetap bersama Syekh Abu Hasan di Blitar.

Situs-situs peninggalan, seperti rumah Syekh Abu Hasan dan rumah Syekh Abu Manshur di Desa Kuningan, masih berdiri kokoh dan terawat hingga kini. Bangunan-bangunan lainnya, seperti pondok pesantren, masjid jami' Nurul Huda, mimbar khotbah, tombak Dwi Sula, pedang, dan sendang pasucen, juga masih terjaga.

Ahli sejarah dan budayawan Jawa, DR. Ki Herman Sinung Janutama, menyimpulkan bahwa bangunan-bangunan tersebut, yang memiliki angka tahun 1880 pada ukiran ornament, merupakan hadiah dari Keraton Ngayogyakarta sebagai penghargaan atas jasa-jasa Syekh Abu Hasan dan Syekh Abu Manshur.

Semoga sedikit manaqib kedua Guru Besar kita, yaitu Syekh Abu Hasan dan Syekh Abu Manshur, memberikan berkah. Bibarkatihima semoga anak cucu kita menjadi anak sholih dan sholihah. Amin.

Pada hari Sabtu, 9/12/2023, abdumar.com bersama keluarga berkunjung ke makam Syekh Abu Hasan Syekh Abu Manshur" di Desa Kuningan. Berikut dokumentasinya.

 

Peta lokasi Syekh Abu Hasan Syekh Abu Manshur" di Desa Kuningan

0 Komentar