Pentingnya Analisis Diri

 Oleh Winartono*



Sebagian dari kita mungkin bertanya, akan pentingnya analisa diri sendiri, dan sebagian yang lain bahkan merasa hal ini tidak perlu dan justru membuang waktu; bukankah kita sudah pasti (lebih) paham tentang diri kita sendiri. Berangkat dari keadaan ini penulis ingin menawarkan jawaban atas pentingnya menganalisa diri, dengan menyodorkan pernyataan “being is not always knowing” atau dengan ungkapan lain “being doesn’t automatically mean knowing”.

            Karena ‘menjadi’ belum berarti serta merta ‘mengetahui’, maka analisa diri sangat perlu dilakukan oleh masing-masing individu. Tentunya, tidak semua manusia merasa perlu melakukannya. Hanya manusia yang ingin progressif lah yang merasa perlu melakukan analisa diri. Manusia progressif adalah manusia yang tidak mau merugi apalagi celaka. Dengan bahasa lain, manusia progressif adalah ‘hari ini lebih baik (dan lebih bermanfaat tentunya) daripada hari kemarin, dan hari esok adalah lebih baik dari hari sekarang.’ Dia lah manusia yang beruntung.
            Mari kita memahami diri kita sendiri semaksimal mungkin. Semakin kita dapat memahami diri semakin  mampu kita mengontrol dan menguasainya. Ironis jika yang lebih memahami diri kita justru adalah orang lain. Dari sini pula kita mengenal adanya kolonialisasi bangsa satu atas bangsa lainnya.
            Dalam tingkatan teoritis ada banyak aliran atau metode yang digunakan dalam melakukan analisa diri. Sebelum abad kesembilan-belas hal semacam ini menjadi kajian para ahli teologi dan filsafat. Sekarang, tepatnya dimulai era Wilhelm Wundt(1832-1920) kajian diri atau tingkah laku manusia beralih menjadi “urusan” ilmuan psikologi. Dalam psikologi sendiri, ada perdebatan-perdebatan antar aliran terkait memahami diri (tingkah laku manusia). Beberapa diantaranya adalah antara Freudiansme versus Behaviorisme, dan Eksistensialsme versus Esensialisme. Namun, pada kesempatan kali ini, kita tidak akan membahas lanjut secara detail tentang aliran-aliran tersebut. Mungkin hanya beberapa teori atau wacana dari beberapa pemikir yang kita gunakan untuk mengantarkan pada Analisa Diri.

Who am I?
            Siapa sebenarnya kita? Pertanyaan ini sengaja penulis munculkan untuk mengawali proses analisa diri. Sebab ini adalah akar terdalam, sebelum lebih lanjut kita menggali apa saja potensi diri, meski oleh kaum eksistensialisme pertanyaan ini belum dianggap sebagai pertanyaan yang paling mendasar. Ada hal yang lebih mendasar dan patut dipertanyakan lebih awal.
            Jika ada pilihan pertanyaan, mana yang patut dipertanyakan lebih dulu, ‘(si)apa’ ataukah ‘ada’? kaum eksistensialisme menyarankan untuk mempertanyakan ‘ada’; sebelum kita sibuk bertanya-tanya ingin menjadi (si)apa, hendaknya terlebih dahulu mempertanyakan sudah ‘adakah kita’. Hal ini kelihatannya mungkin tidak penting, padahal justru dari sinilah kita harus jeli. Banyak orang yang secara ambisius ingin menjadi ‘yang wah’, semisal ingin menjadi presiden BEM atau ketua dalam sebuah organisasi yang dianggap bergengsi. Tetapi mereka tidak terlebih dulu ‘meraba’diri, sudah kah benar-benar ‘ada’. Dalam hal ini, indikator sangat dibutuhkan untuk mengetahui ‘ada’ dan tidaknya. Tentunya, beda masalah/ranah, beda pula indikatornya. Dalam ranah berfilsafat misalnya, kaum rasionalis, menjadikan ‘berfikir’ sebagai indikator utama, ada-tidaknya seorang. Atau, semisal dalam sebuah aksi demonstrasi yang dihadiri ratusan orang, boleh jadi hanya 30 % yang dianggap/didefinisikan ‘ada’ oleh analis gerakan massa atau agen inteligen. Yang jelas mereka mempunyai beberapa indikator dalam menilai. Sehingga, sisa 70% dari demonstran dikategorikan tidak ‘ada’ atau dengan kata lain ‘’wujuduhum ka ’adamihim.’’ Oleh sebab itu, ‘ada’kan diri mu, kemudian baru hendak menjadi (si)apa! Kokohlah bangunan ke-diri-an mu.
            Sigmund Freud (1856-1939), seorang pakar psikologi dan pencetus psikoanalisa, telah mengemukakan sebuah pertanyaan, yang mampu merubah sebagian besar pandangan manusia tentang diri. Ia berhasil membuat antitesis terhadap tesis yang dipercayai khalayak. Inti dari pertanyaannya adalah, siapa sebenarnya kita, ‘yang kita tampilkan’ ataukah ‘yang kita sembunyikan/simpan’? Dan bagi dia, kita yang sesungguhnya adalah ‘kita yang kita sembunyikan’. Oleh Freud, jiwa dianalogikan seperti gunung es yang puncaknya adalah bagian sadar, yang ukurannya lebih kecil dari pada bagian dasar yang cenderung tidak tampak.
            Freud, selanjutnya menjelaskan dalam teori psikoanalisanya dengan menguraikan jiwa atau diri (human psyche). Menurutnya, human psyche terdiri dari tiga bagian: Id, Ego dan SuperegoId oleh dia didefinisikan sebagai sesuatu yang berisi naluri (instinct) dan energi dasar kehidupan—dia menyebutnya libido— yang menjadi pengatur atau penggerak segenap organ. Id befungsi di alam bawah sadar manusia, sehingga ia tidak mengenal nilai (baik-buruk); tidak ada moralitas baginya. Ia hanya mengenal dorongan untuk memperoleh kepuasan bagi kebutuhan-kebutuhan naluriahnya selaras dengan prinsip kenikmatan.
            Ego adalah bagian sadar manusia yang bersifat rasional yang berusaha menyesuaikan antara alam bawah sadar (id) dengan tuntutan realita. Ego lah yang menjaga (to protect) gerak atau sikap organ-organ. Meski begitu, ego bersifat anti-sosial dan cenderung ‘membahayakan’.
Adapun superego adalah bagian diri—atau lebih jelasnya kata hati (conscience)— yang denganya seseorang dapat mengetahui mana yang benar dan salah (right and wrong) menurut aturan sosial, dimana ia tinggal, sehingga ia akan merasa bersalah ketika melakukan kesalahan.
Id dan Superego selamanya saling bertentangan (contradict), dan Ego berusaha ‘merukunkan’ daya-daya keduanya sehingga menghasilkan tingkahlaku atau tindakan. Oleh karena itu, Freud yakin bahwa selamanya manusia berada dalam konflik dengan dirinya sendiri dan dengan lingkungan (masyarakat). Orang saleh, menurut Freud, adalah orang yang mampu menekan atau merepresikan impuls-impulsnya, dan sebaliknya seorang pendosa menikmati impuls-impulsnya.
            So, who are You............???

Menggali Potensi Diri
            Setelah mengetahui siapa kita, kemudian kita beranjak pada penggalian potensi. Potensi adalah daya atau kekuatan. Bentuk negatifnya adalah impotensi, yang pada dasarnya berarti tak berdaya. Seorang berpotensi adalah seorang yang kuat atau berdaya. Dalam bahasa Inggris ada beberapa kosa kata yang berarti daya/kekuatan, diantaranya adalah potency yang berarti daya atau kekuatan yang terdapat pada manusia (as creature), dan almighty yang secara khusus dimiliki Tuhan.
            Untuk menggali atau memahami potensi diri, khususnya dalam kajian psikologi, kita bisa menggunakan beberapa metode. Salah satunya—yang seringkali digunakan dan mungkin yang paling sederhana—adalah analisa SWOT.
            Analisa SWOT adalah sebuah cara menganalisa masalah, termasuk diri (as a text), yang bertolak pada empat sudut berbeda, yang terbagi dari dua aspek (internal dan eksternal). SWOT (bukan SeWOT) adalah singkatan dari empat kosa kata: Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (kesempatan), dan Threaths (ancaman). Pada awalnya analisa—yang diperkenalkan pertama kalinya oleh Albert Humphrey—ini digunakan dalam menganalisa terkait spekulasi bisnis, namun kemudian juga digunakan untuk menganalisa (potensi) diri.
            Modal awal dalam menjalankan analisa SWOT adalah jujur. Kita dituntut jujur, apa adanya dalam mengungkap data baik internal atau eksternal. Tanpa kejujuran, analisa ini tak punya arti. Isilah data SWOT selengkap mungkin. Disini kita juga dituntut jeli (rinci). Lakngkah selanjutnya adalah menentukan strategi. Dalam penulisan data atau pun strategi biasanya penganalisa memanfaatkan bentuk kolom seperti di bawah ini:
STRENGTHS
WEAKNESSES
OPPORTUNITIES
Strategi (SO):
Mengembangkan suatu dalam memanfaatkan kekuatan (S) untuk mengambil manfaat dari peluang (O) yang ada.
Strategi (WO):
Mengembangkan strategi dalam memanfaatkan peluang (O) untuk mengatasi kelemahan (W) yang ada.
THREATHS
Strategi (ST):
Mengembangkan suatu strategi dalam memanfaatkan kekuatan (S) untuk menghindari ancaman.
Strategi (WT):
Mengembangkan suatu strategi dalam mengurangi kelemahan (W) dan menghindari ancaman (T).
            Setelah kita mengetahui data (SWOT) beserta strateginya, kita minimal puya gambaran langkah berikutnya.
            What will You do? What do You want to be?

Self Actualization
            Aktualisasi diri adalah suatu hal yang pasti dibutuhkan (secara naluriah) oleh setiap manusia untuk melakukan yang terbaik dari yang ia bisa dalam hidup. Oleh Abraham Maslow aktualisasi diri dianggap sebagai kebutuhan tertinggi manusia. Ia menjelaskannya melalui hierarchy of needs dalam bentuk piramida, dimana bagian paling bawah adalah kebutuhan paling dasar dan yang terpuncak adalah kebutuhan tertinggi.
            Bagi Maslow, kebutuhan dasar adalah syarat awal keberlanjutan pemenuhan kebutuhan berikutnya. Mulai yang bersifat fisik, aman-nyaman, cinta/rasa memiliki, sampai aktualisasi diri—yang lebih bersifat abstrak. Dan untuk mengaktualisasi diri, ia mensyaratkan dua hal: inner exploration dan action.

Sahabat PMII Beraksi
            Semasa masih kecil, kita mungkin sudah cukup puas dengan diberi mainan atau makanan yang kita sukai, dan menginjak lebih besar atau remaja kepuasan sudah bisa kita temui dengan bermain dengan teman sebaya atau yang lainnya. Sudah pasti, ketika dewasa seperti saat ini, kita tidak bisa puas dengan mainan masa kecil lagi. Kira-kira itulah kita, manusia yang selalu tidak pernah puas. Ketidak puasan ini bisa menjadi hal yang positif atau bahkan bisa menjadikan kita semakin produktif, progressif dan juga kreatif, tatkala kita bisa memaknainya sebagai suatu anugerah yang harus dikelola. Atau justru sebaliknya, ketidak puasan bisa mengakibatkan kita terperosok pada jurang kehancuran, jika tidak kita kelola dengan benar.
            Ketidak puasan tersebut (saat ini) bisa kita jawab dengan aktualisasi diri di organisasi. Dan PMII adalah organisasi pergerakan yang dikelola diantaranya untuk menggali dan mengembangkan potensi diri mahasiswa. Sehingga, aktif di PMII sudah sepatutnya kita anggap sebagai kebutuhan, bukan keterpaksaan atau ketidaksengajaan.
            Mengapa harus PMII?
            Barang kali beberapa diantara kita ada yang bertanya seperti itu. Dan diantara alasannya adalah: action, movement, harakah. Ya, karena di PMII mengajak para Sahabat-Sahabatinya beraksi, bergerak, dan berbuat tidak hanya untuk mereka sendiri, tetapi juga untuk kemajuan (Islam-Indonesia dan kemanusiaan) melalui beberapa cara. Bukan kah ada ungkapan “al-harakah barakah”. Lagi pula, aktualisasi diri mempunyai implikasi al-barakah: proses pengembangan dan up-date kualitas diri.

Saleh individual, saleh sosial           
            Saleh individual dan sosial secara tidak langsung adalah the dream of PMII. Anggota dan kader PMII diharapkan menjadi aktifis yang tidak hanya saleh individual (habl min Allah) saja, tetapi juga sosial (habl min an-nas & al-alam).
            Kata ‘saleh’ sendiri mengindikasikan sikap / gerak proposional—alias menempatkan sesuatu pada tempatnya/ pada porsinya—dan profesional dalam kinerja. Hal ini tercermin juga pada motonya: dzikir, fikir, dan amal saleh. Jadi, aktifis PMII secara ideal adalah sebuah manifestasi dari nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu, kita sebagai Sahabat-Sahabati PMII sudah semestinya harus selalu berusaha menyeimbangkan kedua saleh ini. Kita bisa mewujudkannya pada penyeimbangan antara tri khidmat perguruan tinggi: belajar-mengajar, berkarya, mengabdi. Jadi jangan takut ber-PMII.
            Akhir kata: Ber-PMII lah dengan benar dan hati-hati!!!
Tulisan ini hanya sebuah  pengantar. Selanjutnya terserah Sahabat-Sahabati. Semoga bermanfaat.

*Artikel ini pernah dipublikasikan dengan judul Becoming PMII (Dari Memahami Diri, Hingga Mengaktualisasi Potensi) dalam Pengantar sederhana pada MAPABA XVIII PMII Rayon “Perjuangan” IBNU AQIL Malang (25 Nov. 2011)

*Penulis adalah kader PMII. Sekarang bergiat di Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) NU Kota Malang, selebihnya adalah manusia biasa

0 Komentar