Aswaja dan Politik dalam Kekuasaan


 Tradisi Ahlussunnah Wal Jama’ah lahir dari kalangan sahabat Nabi yang bersikap netral (tidak memihak) dalam perebutan kekuasaan. Pada waktu itu berkembang berbagai aliran teologis (kalam) yang saling bersaing. Aliran-aliran tersebut antara lain: Khawarij, Syiah, dan Muktazilah. 

Asal usul kelompok Aswaja nampak pada para sahabat yang bersikap netral dalam perebutan kekuasaan setelah masa  Khulafaur Rasyidin. Meski demikian, aliran teologi Aswaja lahir atas prakarsa Khalifah Abdul Malik untuk menciptakan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat.

Menurut kaidah Fiqih, sesuatu yang menjadi prasyarat bagi sesuatu yang lain maka hal itu hukumnya menjadi wajib. Oleh karena itu, Aswaja menganggap penting negara yang berfungsi sebagai sarana untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat. Aswaja mendukung siapa saja yang berhasil menjaga ketertiban masyarakat karena Aswaja tidak memihak salah satu aliran teologi yang ada pada waktu itu. 

Dalam hal ini, Aswaja mendukung Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang berhasil menjaga ketertiban masyarakat. Dukungan itu berkaitan dengan pentingnya negara sebagai alat untuk mensejahterakan masyarakat. Aswaja tidak setuju dengan konsep  faula  (hidup tanpa negara). Meskipun demikian, Aswaja tidak menjadikan negara sebagai bagian dari Rukun Iman maupun Rukun Islam. Jadi, mendirikan negara bukan merupakan perintah agama yang wajib untuk setiap orang, namun hanya fardhu kifayah. Dengan begitu, sahnya kegiatan ibadah tidak ditentukan oleh Khalifah.

Dalam hubungan Islam dan negara, Aswaja berpandangan bahwa negara berdiri berkat kekuatan (senjata, politik, massa) yang ada di masyarakat. Sebuah negara tidak terjadi begitu saja tanpa perjuangan. Banyak jasa para pendahulu yang mengupayakan berdirinya sebuah negara. 

Aswaja membedakan agama dan negara sebagai dua identitas yang berbeda, walaupun keduanya harus saling mengisi. 

Apa yang dilakukah Khalifah Abdul Malik merupakan sesuatu yang luar biasa bagi kemajuan peradaban Islam. Dia menyetujui konsep tarbi’ yang kontroversial karena tidak menyebut Muawiyah sebagai pendiri kekhalifahan Bani Umayah. Konsep  tarbi’ hanya menyebutkan nama keempat khulafaur rasyidin dalam kutbah Jum’at. Khalifah Abdul Malik juga menyetujui konsep irja’. Konsep  irja’ menyatakan bahwa hanya Allah yang berhak menghakimi seseorang itu  kafir  atau  tidak.

Bagi Aswaja, hukum mendirikan negara adalah fardhu kifayah, tidak wajib seperti yang diyakini Syiah dan Hizbut Tahrir (Nurcholish Madjid, 1989: 66-70).

Hizbut Tahrir, Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Syiah bersifat ideologis dalam memahami Islam. Mereka ingin mendirikan negara Islam. Hizbut Tahrir mensyaratkan berdirinya kekhalifahan sebagai syarat mendirikan shalat jum’at. Begitu juga dengan Syiah yang meyakini bahwa hanya Imam Syiah yang berhak menyelenggarakan shalat jum’at. 

Pemahaman Islam yang ideologis juga nampak pada Ihwanul Muslimin di Mesir. Presiden Morsi tidak melarang pendukungnya melawan militer sehingga pecah perang saudara di Mesir. Akibatnya, terjadi kekacauan yang mengganggu ketertiban dalam beragama.  

Aswaja sebagaimana diyakini K.H. Abdurrahman Wahid, tidak ideologis (tidak ada kaitannya dengan Rukun Iman/Islam). Buktinya Gus Dur  legawa lengser dari jabatan Presiden untuk menghindari kekacauan dan pertumpahan darah.

Dilansir dari  website harakah.id intisari praktik politik para ulama NU ada 4, yaitu:

1. Keimanan

2. Keadilan

3. Memprioritaskan agenda kerakyatan

4. Harmonisasi agama dan kekuasaan

Melalui prinsip harmonisasi agama-negara, warga NU menolak segala upaya pemberontakan, kudeta, dan pendirian negara baru, karena hanya akan menjadikan rakyat kebanyakan menderita. 

Jikalaupun sebuah revolusi tak bisa dihindari, maka NU akan mengupayakan langkah-langkah yang mempercepat stabilitas seperti yang pernah terjadi dalam perang kemerdekaan, penerimaan UUD 45, dan lainnya.

Sumber : Buletin Aswaja Center


0 Komentar