Oleh Bima Tangguh Alam (Mahasiswa S3 Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya)
Perubahan kurikulum merupakan sebuah keniscayaan dalam pendidikan modern. Transformasi teknologi, perubahan karakter generasi, dan tuntutan kompetensi global menuntut kurikulum untuk terus beradaptasi. Dalam pandangan UNESCO (2021), kurikulum abad ke-21 harus “dinamis, reflektif, dan responsif terhadap perubahan sosial,” sebuah prinsip yang menegaskan bahwa stagnasi kurikulum justru menghambat lahirnya generasi adaptif. Namun paerubahan kurikulum tidak cukup dilakukan hanya dengan pergantian dokumen; perubahan harus ditopang oleh filosofi yang jelas, desain yang matang, dan kesiapan ekosistem pendidikan secara keseluruhan. Inilah titik problem yang paling nyata di Indonesia.
Selama dua dekade terakhir, Indonesia melakukan
reformasi kurikulum dalam frekuensi yang tidak lazim. Pergantian dari KBK ke
KTSP, lalu K13, hingga Kurikulum Merdeka tidak hanya menghadirkan perubahan
konsep, tetapi juga perubahan struktur penilaian, filosofi pedagogi, dan
orientasi pembelajaran. Fenomena ini mengonfirmasi kritik Michael Apple (2004)
tentang “curriculum as a political text”, yaitu kurikulum yang lebih mengikuti
arah elite kekuasaan daripada kebutuhan epistemologis peserta didik. Hal ini
sejalan dengan McNeil (2019) yang menyebut Indonesia termasuk negara dengan
tingkat “policy volatility” tinggi dalam pendidikan—di mana kebijakan berganti
lebih cepat dibandingkan kesiapan manusia yang harus melaksanakannya.
Masalah berikutnya adalah ketidaksinkronan antara
filosofi kurikulum dan praktik lapangan. Secara filosofis, Kurikulum Merdeka membawa
semangat rekonstruksionisme—mendorong pembelajaran berbasis proyek, pemecahan
masalah, dan penguatan nilai kemanusiaan. Namun dalam realitas, implementasi
pembelajaran masih banyak terjebak dalam pola esensialisme tradisional: guru
dominan, hafalan kuat, dan penilaian berbasis angka. Joseph Schwab (1973) sudah
jauh hari mengingatkan bahwa kurikulum tidak akan pernah “hidup” jika hanya
dipahami sebagai dokumen, bukan sebagai praktek deliberatif di ruang kelas.
Ketidakseimbangan ini menunjukkan bahwa Indonesia mengalami “curriculum
dissonance,” yaitu jurang lebar antara idealisme dan praktik.
Dari sisi desain kurikulum, perdebatan akademik
sebenarnya sudah lama memberikan panduan. Ralph Tyler menekankan pentingnya
keselarasan antara tujuan, pengalaman belajar, dan evaluasi; sedangkan Hilda
Taba menekankan pentingnya grassroot approach—kurikulum harus lahir dari
analisis kebutuhan lapangan, bukan dari pusat kekuasaan. Namun sebagian besar
kebijakan kurikulum Indonesia bersifat top-down. Guru lebih sering ditempatkan
sebagai pelaksana, bukan desainer kurikulum. Padahal, menurut Taba (1962),
kurikulum yang tidak dibangun dari realitas kelas akan gagal karena “kurikulum
adalah praktik, bukan hanya rancangan.”
Selain itu, kebijakan kurikulum Indonesia juga
belum sepenuhnya mengadopsi perspektif curriculum as lived experience dari
William Pinar (2004), yang menekankan bahwa kurikulum adalah pengalaman
subjektif peserta didik. Pinar menolak gagasan bahwa kurikulum hanya kumpulan
kompetensi teknis. Namun di Indonesia, meski Kurikulum Merdeka memberi ruang
pada pengalaman belajar, praktik lapangan masih dipenuhi standar administratif,
penilaian numerik, dan tuntutan birokrasi yang memaksa guru mengorbankan
kreativitas demi kepatuhan dokumen.
Persoalan semakin kompleks ketika kesiapan guru
tidak sejalan dengan tuntutan kurikulum baru. Kurikulum Merdeka mengharuskan
guru menguasai teknologi, asesmen autentik, pembelajaran diferensiasi, dan
desain proyek. Akan tetapi kapasitas guru tidak merata, terutama di daerah. Penelitian
Zhang & Lee (2023) menunjukkan bahwa teacher digital readiness adalah
faktor penentu keberhasilan implementasi kurikulum berbasis teknologi. Jika
literasi digital guru rendah, maka kurikulum akan menjadi teks tanpa makna.
Dalam konteks Indonesia, pelatihan guru kerap berorientasi seminar, bukan
pendampingan mendalam, sehingga tidak menciptakan transformasi pedagogi.
Di sisi lain, yang sering luput dibicarakan adalah
kesenjangan infrastruktur. OECD (2020) menegaskan bahwa negara dengan
ketimpangan digital tinggi akan mengalami “curriculum inequality,” di mana
peserta didik dari daerah kurang berkembang tidak dapat menikmati manfaat
reformasi kurikulum digital. Indonesia masih menghadapi kesenjangan signifikan
antara sekolah perkotaan dan pedesaan. Kurikulum yang menuntut integrasi
teknologi akan selalu timpang jika tidak disertai pemerataan sarana teknologi
dan internet.
Aspek penilaian juga menjadi sorotan kritis.
Kurikulum modern ingin menumbuhkan kemampuan abad ke-21 seperti kreativitas,
kolaborasi, empati, dan literasi teknologi. Namun sistem asesmen nasional
Indonesia tetap kuat pada tes kognitif. Hal ini menciptakan apa yang disebut
Bernstein (2000) sebagai “pedagogic code conflict”, yaitu konflik antara tujuan
kurikulum dengan kode evaluasi. Jika asesmen tetap menekankan hafalan, sekolah
tidak akan pernah benar-benar melaksanakan pembelajaran kreatif.
Dengan demikian, problematika kurikulum Indonesia
tidak dapat dilihat hanya sebagai isu teknis, tetapi sebagai isu filosofis,
politis, dan sistemik. Di satu sisi, perubahan kurikulum memang sangat
diperlukan—karena generasi berubah, teknologi berkembang, dan kebutuhan dunia
kerja berevolusi cepat. Zaman tidak lagi memungkinkan kita mempertahankan
kurikulum statis. Namun di sisi lain, perubahan kurikulum di Indonesia harus
dilakukan secara lebih matang, berbasis riset, stabil dalam jangka panjang, dan
disertai investasi besar pada guru serta infrastruktur. Tanpa itu, perubahan
kurikulum tidak akan menghasilkan transformasi pendidikan, melainkan hanya menghasilkan
dokumen baru yang menggantikan dokumen lama.
Dalam posisi akademik, dapat ditegaskan bahwa
Indonesia tidak membutuhkan perubahan kurikulum yang cepat, tetapi membutuhkan
perubahan kurikulum yang cerdas, konsisten, dan berlandaskan teori pendidikan
modern. Guru harus menjadi pusat dari proses implementasi, bukan sekadar
pelaksana. Kurikulum harus menjadi pengalaman belajar yang bermakna, bukan
sekadar dokumen teknis. Dan reformasi kurikulum harus berorientasi pada masa
depan, bukan masa jabatan
.jpg)
0 Komentar