Menyimak Legenda dan Riwayat Ariyo Blitar: Pemimpin Terakhir Bangsawan Majapahit

 

Dilansir dari detik.com, makam Ariyo Blitar, yang kini menjadi tempat ziarah bagi pejabat dan warga, dipercayai sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi bangsawan keturunan Majapahit yang memimpin pembukaan wilayah Blitar, yang dikenal sebagai babad alas.

Terletak di Jalan Pamungkur 24, Kelurahan Blitar, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar, makam ini merupakan bangunan yang terawat rapi dan memberikan kesan tenang. Masyarakat setempat menyebutnya dengan sebutan "danyangan," merujuk pada tempat di mana tokoh-tokoh babad alas Blitar dimakamkan.

Di dalam ruangan makam, terdapat dua makam tertutup dengan papan bertuliskan Eyang Putri di sebelah kanan dan Eyang Kakung di sebelah kiri. Menurut penjaga makam, Slamet Haryono, Eyang Putri adalah Dewi Rayung Wulan, permaisuri dari Eyang Kakung atau Adipati Nilasuwarna yang lebih dikenal sebagai Ariyo Blitar.

Legenda dan sejarah Kota Blitar, seperti yang tercatat di situs resmi blitarkota.go.id, terkait erat dengan Ariyo Blitar. Menurut buku sejarah, khususnya Bale Latar, Blitar didirikan pada abad ke-15. Nilasuwarna, atau Gusti Sudomo, anak Adipati Wilatika Tuban, adalah orang kepercayaan Kerajaan Majapahit yang dianggap tokoh pembuka wilayah Blitar.

Silsilah

Dalam riwayatnya, Blitar awalnya adalah hutan yang belum dijamah oleh manusia. Nilasuwarna diutus oleh Majapahit untuk mengatasi pasukan Tartar yang bersembunyi di hutan selatan (Blitar dan sekitarnya), pasukan yang memberontak dan mengancam Majapahit. Nilasuwarna berhasil mengalahkan pasukan Tartar, dan sebagai imbalannya, diberikan hak untuk mengelola hutan selatan, yang kemudian dinamakan Balitar (Bali Tartar) sebagai tanda keberhasilannya.

Adipati Ariyo Blitar I, atau Nilasuwarna, memimpin dengan baik di bawah Kerajaan Majapahit. Namun, kepemimpinannya diuji oleh pemberontakan Ki Sengguruh Kinareja, yang kemudian merebut kekuasaan dari tangan Adipati Ariyo Blitar I. Djoko Kandung, anak Adipati Ariyo Blitar I, kemudian memberontak dan berhasil merebut kekuasaan dari Ki Sengguruh, menjadi Adipati Ariyo Blitar III.

Pada fase kepemimpinan Adipati Ariyo Blitar III, Blitar mengalami perubahan pemerintahan yang signifikan. Pada tahun 1723, di bawah pemerintahan Raja Amangkurat dari Kerajaan Kartasura Hadiningrat, Blitar jatuh ke tangan penjajah Belanda. Amangkurat memberikan Blitar kepada Belanda sebagai hadiah atas bantuan mereka dalam perang saudara, termasuk perang dengan Adipati Ariyo Blitar III yang berusaha merebut kekuasaan.

Nafisa di makam aryo blitar

Pada masa penjajahan Belanda di Blitar, perlawanan rakyat terhadap penjajah terus berlangsung. Pada tahun 1906, Belanda menetapkan pembentukan Gemeente Blitar untuk meredam perlawanan. Pembentukan ini menjadi titik awal berdirinya Kota Blitar. Pada tahun 1928, Kota Blitar menjadi Kota Karisidenan dengan nama "Residen Blitar."

Penjajahan Jepang di Blitar pada tahun 1942 mengubah istilah "Gementee Blitar" menjadi "Blitar Shi." Pada saat itu, perlawanan terhadap penjajah Jepang tetap berlanjut, terutama dengan Pemberontakan PETA Blitar pada tahun 1945. Meskipun pemberontakan ini berlangsung singkat, ia memberikan dampak besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, rakyat Kota Blitar merayakannya dengan gembira. Sebagai tindak lanjut, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1945 mengubah nama "Blitar Shi" menjadi "Kota Blitar," menegaskan keberadaan Kota Blitar sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak itu, Kota Blitar terus berkembang, mempertahankan warisan sejarahnya yang kaya.

Pada Sabtu, 9/12/2023, penulis bersama keluarga berkunjung ke Makam Aryo Blitar. Berikut dokumentasinya:



Peta Lokasi Makam Ariyo Blitar

0 Komentar